KEPRINOW.COM – Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono menyatakan rapid test antibodi tidak efektif untuk menanggulangi pandemi virus corona Covid-19 di Indonesia. Dia mengatakan rapid tes antibodi tidak dapat mengidentifikasi orang yang terjangkit virus.
“WHO menyarankan bahwa dalam testing dan screening, dan surveilans itu tidak dianjurkan menggunakan rapid test. Karena rapid test itu bukan mendeteksi orang dengan virus,” ujar Pandu kepada CNNIndonesia.com, Senin (24/4).
Pandu merespons Organisasi Penyakit Menular Baru Amerika Serikat (IDSA) yang menentang penggunaan rapid test antibodi sebagai bahan rujukan seseorang terinfeksi virus corona SARS-CoV-2.
Pandu menuturkan Indonesia harus menggunakan alat yang dapat mendeteksi orang dengan virus corona agar dapat melakukan pelacakan dan isolasi. Meski lebih cepat, dia menilai rapid tes antibodi tidak akurat karena mendeteksi antibodi.
Pandu berkata antibodi pada tubuh manusia dapat hilang dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, antibodi pada tubuh manusia baru terbentuk seminggu atau lebih setelah terinfeksi.
“Jadi kita kehilangan kesempatan, kita mengatakan orang non reaktif karena belum ada antibodinya. Tapi bisa saja orang itu sudah terinfeksi virus,” ujarnya.
Lebih lanjut, Pandu mengklaim banyak orang dinyatakan tidak reaktif terhadap virus corona usai menjalani rapid test antibodi. Sedangkan ketika diperiksa melakukan metode swab dinyatakan positif.
Oleh karena itu, Pandu pun menyarankan pemerintah menggunakan RT-PCR untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2 pada tubuh seseorang. Dia mengatakan akurasi pengetesan itu tidak diragukan.
Adapun kendala biaya RT-PCR, Pandu tidak sepakat. Sebab, dia menyebut rapid tes antibodi juga menelan biaya yang mahal.
“Lebih baik dananya (pemerintah) digunakan untuk memperkuat PCR. PCR itu tidak terlalu mahal kalau langsung beli di negaranya (produsen),” ujar Pandu.
Pandu menambahkan Jawa Barat mampu membeli alat RT PCR. Bahkan, dia menyebut fakultas Universitas Andalas juga mampu membeli alat RT-PCR.
“Artinya bukan masalah dana. Masalah niat dan strategi,” ujarnya.
Lebih dari itu, dia menduga ada pihak yang mengambil keuntungan dengan menyarankan pemerintah membeli alat rapid test antobodi dalam jumlah yang sangat banyak.
Sebelumnya, Organisasi Penyakit Menular Baru Amerika Serikat (IDSA) menentang penggunaan rapid test antibodi sebagai bahan rujukan seseorang terinfeksi virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Tes antibodi ini kerap digunakan untuk pengujian cepat atau rapid test dengan mengambil sampel dari darah pasien. Darah pasien diambil untuk mengecek apakah ada antibodi yang muncul akibat perlawanan tubuh terhadap virus corona SARS-CoV-2. Nama lain tes antibodi adalah pengujian serologi.
Selain itu, IDSA juga tidak merekomendasikan penggunaan tes ini untuk menguji seseorang yang mendapat terlihat bergejala Covid-19 dalam 14 hari. Uji ini bisa digunakan setelah tiga hingga empat minggu setelah gejala muncul.
Organisasi tersebut menemukan bahwa pengujian antibodi tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk menentukan kebjijakan untuk menghentikan jarak fisik atau mengurangi penggunaan alat pelindung diri.
Sehingga, tidak disarankan menggunakan rapid test sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk pelonggaran pembatasan aktivitas seperti pemberlakuan PSBB, misalnya.
Selain itu, tes ini juga tak bisa digunakan sebagai paspor kekebalan (immunity passport). Ini adalah sertifikasi yang menunjukkan kalau seseorang memiliki kekebalan atas Covid-19.
Sebab, jika rapid test tidak cukup akurat untuk menentukan apakah seseorang benar-benar terinfeksi Covid-19, maka dokumen ini juga tak bisa digunakan sebagai validasi kelayakan seseorang bisa bepergian atau tidak.
Alasannya, seiring waktu keberadaan antibodi dalam darah bisa berkurang dan menghilang seluruhnya dalam waktu tiga bulan. Meski antibodi menghilang, namun hal in tidak menghilangkan imunitas seseorang terhadap virus corona.
Sebab, T-cell tetap memiliki memori dari virus corona SARS-CoV-2 yang bisa digunakan untuk kembali memproduksi antibodi. (sumber: cnnindonesia)