Sabtu, Juli 27, 2024
spot_img

Pakar Dorong Reformasi Peradilan Militer Ketimbang Ribut Telegram Hadi

KEPRINOW.COM, Jakarta – Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan telegram Panglima TNI perihal pemanggilan prajurit dalam proses hukum harus melalui persetujuan dari komandan atau kepala satuan tak memberi imunitas.

Khairul menyebut telegram ini juga bukan sesuatu yang baru dan hanya untuk penekanan semua pihak agar bertindak sesuai prosedur yang berlaku. Telegram nomor: ST/1221/2021 tertanggal 5 November 2021 itu diteken mantan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

“Enggaklah (membuat prajurit TNI mendapat impunitas). Itu kan cuma reminder dan enggak ada yang baru. Potensi impunitas sudah ada sedari awal dan tidak menjadi lebih kuat karena surat itu,” kata Fahmi saat dihubungi, Rabu (24/11).

Fahmi menyinggung kasus mantan Inspektur Kodam (Irdam) XIII/Merdeka Brigjen Junior Tumilaar. Junior adalah Anggota TNI yang menulis surat ke Kapolri karena keberatan usai bawahannya, seorang anggota Babinsa diperiksa oleh polisi ketika mendampingi warga korban kasus penyerobotan tanah di Manado, Sulawesi Utara.

Menurutnya, surat terbuka itu tidak perlu ada jika semua pihak bertindak sesuai prosedur, baik itu KUHAP maupun UU 31/1997 tentang Peradilan Militer.

“Jadi sekali lagi, itu instruksi agar jajaran patuh prosedur. Bukan aturan baru dan surat telegram itu dirilis tanggal 5 November. Pada saat itu, bukan Andika juga panglimanya,” katanya.

Fahmi justru mendorong reformasi peradilan militer dengan mengubah sejumlah ketentuan dalam UU 31/1997. Menurutnya, selama UU tak diperbaiki, proses hukum yang selama ini tertutup dan terkesan memberi privilese bakal terus terjadi.

“Soal reformasi peradilan militer ini, bolanya ada di Presiden dan DPR. Percuma teriak-teriakin TNI, kalau dua lembaga ini enggak tergerak,” ujarnya.

“Kalau terus begini (tak ada reformasi peradilan militer), akan sulit menghadirkan anggota TNI yang terkait, termasuk dalam perkara koneksitas atau perkara sipil yang memerlukan dukungan keterangan/kesaksian anggota TNI,” katanya.

Sebelumnya, Panglima TNI menerbitkan Surat Telegram (ST) nomor ST/1221/2021 tertanggal 5 November 2021 yang ditandatangani oleh Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letnan Jenderal Eko Margiyono atas nama Panglima TNI Hadi Tjahjanto yang kini masuk masa pensiun.

Pada 5 November, Panglima TNI masih dijabat oleh Marsekal Hadi Tjahjanto, sementara Andika Perkasa resmi dilantik pada 17 November 2021. Meski demikian, Presiden Joko Widodo telah mengirimkan Surat Presiden berisikan nama Andika sebagai calon tunggal Panglima TNI pada 4 November.

Dalam telegram itu termaktub setidaknya empat poin penegasan Panglima terkait dengan proses hukum.

Di antaranya disebutkan bahwa pemanggilan yang dilakukan terhadap prajurit TNI oleh aparat penegak hukum untuk memberikan keterangan atas suatu peristiwa hukum harus melalui persetujuan komandan atau kepala satuan.

Kemudian, Prajurit TNI yang memberikan keterangan kepada aparat dapat dilakukan di satuannya atau di kantor aparat penegak hukum dimaksud dengan didampingi oleh perwira hukum atau perwira satuan.

Aturan yang diteken Hadi sebelum diganti Andika menuai protes. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa untuk mencabut telegram tersebut. Wakil Koordinator II KontraS Rivanlee Anandar menilai poin-poin dalam ST tersebut bisa menambah impunitas atau kekebalan hukum di tubuh TNI. (cnni)

BACA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

BERITA POPULER